Nama Panjunan terletak di kampung
Panjunan, kampung pembuat Jun atau keramik porselen. Kampung ini
didirikan oleh Pangeran Panjunan (salah satu murid Sunan Gunung Jati).
Nama asli dari Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman, pemimpin
kelompok pendatang Arab dari Baghdad. Sang Pangeran dan keluarga mencari
nafkah dari membuat keramik porselen. Begitu juga anak keturunan mereka
sampai sekarang tetap membuat keramik porselen, sehingga tempat itu
kemudian diberi nama Panjunan, pembuat Jun.
Masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon, didirikan oleh Pangeran Panjunan tahun 1453, lebih tua dari Masjid Demak (1477), Masjid Menara Kudus (1530) dan Masjid Sang Cipta Rasa (1489).
Gerbang dan dinding bata merah sangat mencolok dan tak lazim sebagai
bangunan masjid, batu bata sangat lumrah dipakai untuk membuat candi.
Awalnya masjid ini bernama Al-Athyang yang artinya dikasihi, namun
karena pagarnya yang terbuat dari bata merah menjadikan masjid ini lebih
terkenal dengan sebutan, Masjid Merah Panjunan. Awalnya masjid ini
merupakan Tajug atau Mushola sederhana, karena lingkungan tersebut
adalah tempat bertemunya pedagang dari berbagai suku bangsa, Pangeran
Panjunan berinisiatif membangun Mushola tersebut menjadi masjid dengan
perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu – Budha.
Selain faktor agama tersebut, arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh
gaya Jawa dan Cina.
Dilihat dari luar, Masjid Merah Panjunan sangat menarik perhatian,
terutama bagi orang yang baru pertama kali datang ke Cirebon, Jawa
Barat. Warna merah bata mendominasi keseluruhan bangunan. Perpaduan Arab
dan Tiongkok ini tak lain terjadi karena Cirebon, yang pernah bernama
Caruban pada masa silam, adalah kota pelabuhan. Lantaran lokasi masjid
itu di kawasan perdagangan, sungguh tak aneh jika Masjid Merah—semula
mushala Al-Athyah— tumbuh dengan berbagai pengaruh, seperti juga semua
keraton yang ada di Cirebon.
Dalam sebuah catatan sejarah yang mengacu pada Babad Tjerbon, nama
asli Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman. Dia memimpin
sekelompok imigran Arab dari Baghdad. Sang pangeran dan keluarganya
mencari nafkah dari membuat keramik. Sampai sekarang, anak keturunannya
masih memelihara tradisi kerajinan keramik itu, meski kini lebih untuk
tujuan spiritual ketimbang komersial.
Catatan
tersebut juga menyatakan, selain untuk tempat beribadah, masjid ini
juga dipakai Wali Songo untuk berkoordinasi dalam menyiarkan agama Islam
di daerah Cirebon dan sekitarnya. Masjid yang konon dibikin hanya dalam
waktu semalam ini lebih mirip surau karena ukurannya kecil. Kemeriahan
memuncak pada Ramadhan, ketika orang, baik dari dalam maupun luar kota,
berburu takjil, hidangan buka puasa, berupa gahwa alias kopi jahe khas
Arab.
Akan banyak orang bertanya-tanya mengapa di masjid ini juga penuh dengan ornamen bernuansa Tionghoa. Misalnya, piring-piring porselen asli Tiongkok yang menghias penghias dinding. Ada sebuah legenda bahwa keramik Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putri sang kaisar yang bernama Tan Hong Tien Nio. Adanya hubungan dengan Tiongkok sejak zaman Wali Songo itu juga ditunjukkan dengan keberadaan Vihara Dewi Welas Asih, sebuah wihara kuno dengan dominasi warna merah yang berdiri tak jauh dari masjid.
Bangunan lama mushala itu berukuran 40 meter persegi saja, kemudian
dibangun menjadi berukuran 150 meter persegi karena menjadi masjid. Pada
tahun 1949, Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati) membangun pagar
Kutaosod dari bata merah setebal 40 cm dengan tinggi 1,5 m untuk
mengelilingi kawasan masjid.
Keunikan lain dari struktur bangunan adalah bagian atap yang menggunakan genteng tanah warna hitam dan hingga kini masih dijaga keasliannya.